Selendang Putih Dari Surga


     ( Bag. 2 )
Lelaki Misterius Berbaju Hitam !




      Dua orang perempuan muda keluar dari dalam mobil Jeep hitam mewah yang tengah terparkir di sudut kiri halaman restaurant. Yang seorang dengan kaos abu-abu memakai celana coklat sedengkul dan yang satunya lagi mengenakan kebaya putih dengan rok merah yang menutupi sampai ke mata kaki. Masing-masing membawa setumpuk baskom plastik besar.

      Tak berapa lama dari kursi penumpang depan turun seorang laki-laki kurus paruh baya mengenakan kopiah hitam dengan pakaian yang juga serba hitam, berjalan menuju pintu kecil di samping restaurant. Wajahnya datar, tatapan matanya tajam menelisik tiap jengkal tanah yang dilewatinya.

     Sekali Ia menoleh ke arah ku. Namun sedetik kemudian menghilang di balik dinding pintu samping restaurant. Aku semakin bertanya-tanya, siapakah dia ? 

     Aku berusaha mengorek sedikit informasi dari si tukang parkir. Namun alih-alih memberikan jawaban, Ia hanya menoleh sebentar ke arah ku lalu kembali asyik dengan game COC di hp bututnya.

      Ahh, mengapa aku harus sibuk mencari tahu tentang mereka ? Siapapun mereka toh mereka tidak ada hubungan apapun dengan ku. Maksud kedatangan ku malam ini adalah ingin bertemu Larasati, bukan orang-orang misterius itu. Tapi,  dimana Larasati ? sudah setengah delapan malam, jangankan orangnya, suara motornya saja belum terdengar ?. Akhirnya aku putuskan untuk masuk ke dalam restaurant lebih dulu.

     Dua orang wanita cantik dengan tubuh tinggi semampai dan senyum mengembang sigap membukakan pintu untuk ku. 

     "Selamat malam..." sapa mereka dengan ramah. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.

     "Mohon maaf, sudah pesan meja pak?" tanya salah seorang dari mereka yang bernama Nia. Aku membaca nama itu dari name tag yang tersemat di dadanya.

     "Belum" jawab ku singkat.

     "Baik, mari silahkan ikut saya, pak" ujarnya sambil mempersilahkan aku untuk mengikutinya.

     Seperti kerbau dicucuk hidungnya, aku 'manut' saja mengikuti kemana dia berjalan. Lekak-lekuk pinggulnya sedikit membuatku risih. Ia memang mengenakan seragam yang agak ketat, sehingga sedikit menggambarkan lekuk tubuhnya.

     Aku dibawa ke sebuah ruangan yang cukup besar dan nyaman. Hembusan pendingin udara dan suara gemericik air di pancuran kecil membangkitkan suasana yang tenang. Tak banyak tamu yang sedang makan di ruangan itu. Hanya ada enam orang dewasa dan seorang anak kecil dalam satu meja panjang, dan sepasang muda-mudi di sudut ruangan dekat jendela. 

     "Silahkan pilih meja pak, terserah dimana saja. Silahkan" ujar pelayan itu.

     Kuarahkan pandangan ku ke sekeliling ruangan, mencoba mencari tempat yang cocok. Aku harus mendapatkan tempat yang 'strategis' dan nyaman, agar makan malam ku bersama Larasati berkesan. Maklum ini makan malam ku yang pertama bersama Larasati.

     Aku melihat sebuah meja mungil dan dua kursi dekat tiang pilar di tengah. Diatas meja ada lilin kecil berwarna merah dan beberapa peralatan makan ringan.

     Hmm.....aku rasa tempat itu cocok, ujar ku dalam hati.

     "Maaf mbak, saya pilih meja yang dekat pilar itu saja" ujar ku sambil menunjuk ke arah yang ku maksud.


     "Oh, meja 26 pak ? Mari pak, silahkan.

     Aku mengerenyitkan dahi. Aku tidak melihat ada tanda apapun yang menyatakan bahwa meja itu bernomor 26 ? tapi, ah, itu tak penting untuk ku. Yang penting adalah lokasinya.

     Untuk yang kedua kalinya aku kembali seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Kembali berjalan mengikuti dari belakang. Dan kembali menyaksikan pinggul sexy pelayan itu bergoyang-goyang. 

     Setelah sampai di meja yang ku inginkan, dengan sigap 'si pelayan sexy' bernama Nia itu menarik kursi dan mempersilahkan aku duduk. Aku memilih duduk menghadap ke pintu utama yang berdinding kaca tebal berukuran besar agar mudah melihat Laras ketika ia datang. Kuletakkan hp dan kunci motorku diatas meja, persis disamping sebuah kotak tisue kecil yang terbuat dari anyaman bambu cantik bertuliskan angka 26. Kemudian Nia menyodorkan buku menu yang sedari tadi dibawa-bawanya. 

     "Nanti ya mba Nia, saya sedang menunggu teman saya" ujarku pada Nia. 

     Mandengar aku memanggil namanya, matanya berbinar-binar. Senyumnya kembali mengembang.

     "Baik pak. Beritahu saya bila bapak sudah siap memesan". Lalu Nia membungkukkan badannya dan bicara setengah berbisik kepadaku : "Bapak pasti tipe orang yang romantis. Ini memang meja yang tepat untuk makan malam pertama". ujar Nia sambil tersenyum. Aku melongo mendengar kata-katanya. Tapi belum sempat aku bertanya, dia sudah ngeloyor pergi.

      Ah, sudahlah, gumam ku dalam hati. Sekarang yang penting aku harus menelepon Laras dan memberitahukan bahwa aku sudah ada di dalam. Kuambil hp yang tersimpan di saku kemeja ku lalu segera ku telepon Laras. Panggilan pertama tak terjawab. Aku coba menghubunginya lagi dan Laras menjawabnya.

     "Halo pak Ilham. Saya masih di jalan, pak. Kira-kira sepuluh menit baru sampai" ujar Laras setengah berteriak

     "Kamu dimana ?" tanya ku.

     "Udah di bunderan pak, dikit lagi nyampe. Bapak udah dimana" Laras balik bertanya.

     "Saya sudah sampai, sudah didalam, di meja nomor 26, dekat pilar ya" pesanku pada Laras.

     Setelah mengiyakan Laras pun mematikan hp nya.

      Hati ku berjingkrak kegirangan karena sepuluh menit lagi Laras akan tiba di restaurant. Cita-cita ku untuk makan malam bersama Laras akan segera menjadi kenyataan. Tanpa sengaja aku senyum-senyum sendiri membayangkannya.

     Ditengah aku sedang asyik menghayalkan Laras, Tiba-tiba mata ku menangkap sosok pak tua berbaju hitam yang tadi kulihat di depan restaurant. Ia duduk di sudut kiri ruangan dekat pintu utama. Persis di belakangnya tergantung cermin bulat berwarna perak. Kali ini dia menatap tajam ke arah ku. 






     Aku membalas tatapannya dengan pandangan penuh tanda tanya. 

     Siapa sebenarnya pak tua itu ? Mengapa dia memandangi ku seperti itu ? Apakah dia mengenal ku ? Apa yang dicarinya dari ku ?

     Kucoba melemparkan senyum dan diapun membalas senyuman ku. Namun senyum yang kering dan datar. Lebih mirip menyeringai. Tak lama dua perempuan yang tadi membawa baskom menghampirinya, dan setelah itu mereka bertiga keluar melalui pintu utama restaurant. Kulihat mereka kembali menaiki mobil Jeep hitam yang tadi membawa mereka, lalu segera menghilang dari pandangan ku.


* * * * * *


     "Maaf mas, punya korek api ?" tiba-tiba aku dikejutkan oleh seorang lelaki muda berwajah tampan. Wajahnya mengingatkan aku pada sosok seorang pengusaha muda yang belakangan ini sering muncul di layar televisi.

     "Maaf pak, saya tidak merokok. Tapi bukankah
di ruangan ini dilarang merokok ?" tanya ku.

     Mendengar pertanyaan ku pria itu tersenyum dan berkata, "Bukan untuk merokok mas, tapi untuk menyalakan lilin. Anak saya ulang tahun. ".

    "Minta aja sama pelayan pak" saran ku.

     "Sudah tadi, tapi sampai sekarang belum juga diantar. Kakek, nenek, om dan tantenya sudah tidak sabar pingin acara segera dimulai".

     Aku mengalihkan pandangan ku ke arah meja panjang yang ditempati satu keluarga tadi. Tampak seorang anak kecil sedang loncat-loncat kegirangan melihat banyak kado tergeletak di atas meja. Dan sebuah cake ulang tahun besar terbuat dari coklat bertabur strawbery dengan lilin berbentuk angka 5 tertancap diatasnya.

      Tak berapa lama datang seorang pelayan wanita menghampiri kami. 

     "Maaf pak, ini korek apinya" ujar pelayan itu sambil memberikan korek api gas kepada pria yang sedang berdiri di samping ku. 

     "Oh ya, terima kasih mbak" balas pria tersebut. Kemudian pria itu melemparkan senyum kepada ku dan pamit untuk kembali ke mejanya. Namun sebelum ia meninggalkanku, ia sempat memperkenalkan dirinya. 

     "Oh ya nama saya Sandi, maaf... saya bicara dengan mas siapa ?" tanya nya pada ku sembari mengulurkan tanggannya. 

     Aku pun meraih tangannya dan memperkenalkan diriku. "Saya Ilham". ujar ku. 

     "Baik mas Ilham, saya permisi dulu, terima kasih atas bantuan nya dan maaf kalau saya merepotkan". ujar pria bernama Sandi itu. Lalu Ia pun bergegas kembali ke mejanya. Aku hanya tersenyum sambil mengangguk.

     Aku kembali melihat jam yang melingkar di tanganku. Dimana Larasati ?, mengapa belum sampai juga ?, katanya cuma sepuluh menit ?


     Tiba-tiba hp ku berbunyi.

     Laras ! (teriakku dalam hati).  Cepat kujawab panggilannya. 

     "Iya Laras, kamu sudah sampai ?" tanyaku.

     "Iya pak saya sudah di parkiran. Sebentar saya masuk. Meja nomor 26 kan pak ?" tanya Laras memastikan.

    "Iya, dekat pilar ya" ujar ku.

     Laras menjawab oke dan menutup teleponnya.

     Tak lama kemudian pintu utama restaurant terbuka, dan kulihat seorang gadis manis dengan rambut sebahu mengenakan jaket jeans warna coklat melangkah masuk. Kepalanya celingak-celinguk seperti mencari sesuatu.

     Itu Laras ! Aku berdiri, dan melambaikan tanganku. Dia pun melihatku dan tersenyum lalu bergegas berjalan ke arah ku. Ia berjalan malu-malu. Namun dapat kulihat rona wajahnya mengisyaratkan kegembiraan.

     "Malam pak. Maaf saya terlambat". ujarnya seraya masih terus saja melemparkan senyuman. 
Alamaak...... Ini senyum terindah yang pernah ku saksikan. Hari ini mungkin ada puluhan orang yang tersenyum pada ku, namun bagiku senyuman Larasati tetap yang terindah, termanis, dan ter-'sexy' yang pernah kulihat. Ku pandangi terus kedua bibirnya yang mungil dan basah itu bergerak-gerak membentuk lekukan-lekukan yang indah ketika ia bercerita mengapa ia terlambat. Lipstik berwarna pink muda yang membalut bibirnya membuat Ia semakin terlihat mempesona. Tuhan... betapa Engkau telah menciptakan seorang bidadari dalam wujud seorang manusia (batinku dalam hati). Aku 'gagal' menyimak cerita Larasati. Aku betul-betul terpana menyaksikan itu semua. 

      "Pak.....? Bapak dengerin ga sih apa yang saya omongin?". Pertanyaan Laras menarikku kembali ke kesadaran bumi.

     "Eh iya, iya. Saya denger kok. Ya udah kita pesan yuk, saya sudah lapar. Kamu juga sudah lapar kan ?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. 

      Aku dan Laras membuka buku menu yang sedari tadi sudah ada di atas meja. 

     "Kamu mau pesan apa Laras ?" tanyaku. Kulihat wajah Laras serius memperhatikan isi buku menu yang dipegangnya. 

     "Aku mau sate" kata Laras sambil melihat ke arah ku. Aku tertawa mendengarnya.

      "Laras... ini memang restaurant sate. Lihat tuh namanya "Sate Semanggi Baru". ujar ku sambil menunjuk nama restaurant yang tertera di buku menu yang dipegangnya. Melihat aku tertawa, Laras sedikit merajuk. 

      "Iiihhhh.......pak Ilham. Ya iya lah saya tahu. Makanya saya pesannya sate, bukan duren" ujar Laras sambil melotot. Matanya indah sekali. Bulat bening seperti mutiara persia. 

     "Eh, jangan salah. Duren juga ada kok, tuhh..." Aku lanjutkan menggodanya sambil menujukkan menu 'Es Durian' yang tertera pada deretan menu dessert atau pencuci mulut. 

     "Eh iya pak, ada es durian ya ?" ujar Laras sedikit terkejut. 

     "Kamu mau ?" tanya ku pada Laras. "Ngga ah pak" jawab nya. 

     "Oke.Terus kamu mau pesan sate apa?" tanyaku lagi. 

     "Sate apa ya ?" Laras berfikir. Ia kelihatan agak bingung memilih menu, karena menu yang tersedia memang banyak dan enak-enak. Lalu aku coba membantunya. Kulihat ada satu menu unik yang bisa kutawarkan pada Laras. 

     "Bagaimana kalau yang ini?" tanyaku pada Laras sambil menunjukan menu Sate Kombinasi. Dimana dalam satu piring sajian terdapat tiga jenis sate, yakni sate kambing, sate ayam dan sate sapi. 

     Melihat menu yang kutawarkan Laras langsung tersenyum. "Iya deh, aku mau" jawabnya. 

     "Oke terus minumnya apa ?" tanyaku lagi. 

     "Es teh manis" jawab Laras mantap. 

     Aku menulis semua pesanan ku dan pesanan laras, Dalam hati aku menerka, sepertinya Laras suka es durian, namun dia mengurungkan keinginannya, entah mungkin karena malu atau canggung, mengingat ini makan malam pertama dia dan aku. Jadi aku putuskan untuk menambahkan es durian dalam daftar menu pesanan kami.

     Tak berapa lama pesanan ku pun datang. Laras terperanjat melihat ada semangkuk besar es durian yang aku pesan. "Bapak pesan es durian ?" tanya Laras kepada ku. 

     "Iya tapi bukan buat saya," jawab ku. 

     "Terus buat siapa ?" tanya Laras lagi.

     "Buat kamu" jawab ku.

     "Tapi kan aku nggak pesan es durian, pak?" ujar Laras bingung. 

     Melihat kebingungan Laras lantas aku menjawab. "Ya udah kamu cobain aja. Kalau kamu nggak suka, dibungkus aja buat ponakan kamu, ya ?". 

     Mendengar jawabanku Laras tersenyum. "Hehehe....iya deh" Laras mengiyakan.

     Kami kemudian menyantap hidangan yang tersedia sambil bercengkrama. Kadang-kadang kami tertawa terbahak-bahak demi menceritakan cerita-cerita lucu yang kami alami masing-masing.

     Namun tiba-tiba Laras terdiam ketika aku bertanya tentang pribadinya. Wajahnya mendadak berubah. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Ia hanya menunduk, dan kemudian,........menangis.

   



( Bersambung )


Ada apa sebenarnya dengan Laras ?

Simak kelanjutan ceritanya hari Minggu mendatang. 
Selendang Putih Dari Surga Bag.3 dalam judul :


 " Hmm......."


Sampai jumpa, dan ditunggu commentnya ya..☺

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selendang Putih Dari Surga

Selendang Putih Dari Surga