Selendang Putih Dari Surga
( Bag.3 )
"Hmmm....."
Aku mengambil sapu tangan dari saku celanaku. Ragu-ragu ku coba menyeka air mata yang mengalir di pipinya. Dalam hati ku, aku merasa begitu bersalah telah menanyakan hal tak pantas pada Laras. Ah, betapa bodohnya aku.
Laras hanya terdiam tak bereaksi saat aku menyeka air matanya.
"Maafkan saya Laras. Saya telah melampaui batas dengan menanyakan hal yang tak pantas kepada kamu. Sekali lagi saya minta maaf" ujarku penuh penyesalan.
Laras masih terdiam. Namun tak berapa lama ia mengangkat kepalanya dan berusaha tersenyum. Namun senyumnya kali ini adalah senyum yang penuh dengan kesedihan.
"Nggak apa-apa pak Ilham. Saya yang minta maaf karena nggak sopan menangis di depan Bapak" ujar Laras dengan mata yang masih berkaca-kaca. Lalu ia bertanya kepada ku :
"Kenapa pak Ilham ingin tahu tentang saya ?" tanya Laras dengan wajah sendu.
Aku menangkap seolah-olah ada mendung gelap hitam menggelayut di wajahnya.
"Saya tidak bermaksud apa-apa Laras. Itu hanya sekedar pertanyaan saja. Maafkan saya. Bila kamu tidak ingin menjawabnya, tidak apa-apa, kamu tidak perlu menjawabnya, ya ?". Ujarku mencoba menenangkannya.
Laras mengambil selembar tisue di atas meja. Ia mencoba membersihkan sisa air matanya. Kemudian menarik nafas panjang sambil menoleh keatas, lalu berkata :
"Tidak apa-apa pak. Saya tidak keberatan menceritakan tentang diri saya"
"Tapi, Laras...?".
Aku mencoba mencegah Laras melanjutkan niatnya. Namun Laras memberikan isyarat agar aku tidak perlu khawatir mengenai dirinya, seraya berkata :
"Namun Bapak mesti janji, tidak akan menceritakannya kepada orang lain. Hanya bapak, saya, dan Tuhan yang tahu" ujar Laras meminta ku merahasiakan apa yang akan diceritakannya.
Baru aku hendak mengiyakan, tiba-tiba Laras menambahkan :
"Dan seorang lagi"
"Siapa ?" tanyaku.
"Teman saya" jawab Laras.
"Teman kamu ?" tanyaku keheranan.
Laras tak menjawab. Ia hanya menganggukan kepalanya.
"Baiklah. Saya akan menyimpan rapat-rapat rahasia pribadi kamu. Tidak akan saya ceritakan kepada siapapun, meskipun kepada orang terdekat saya".
"Janji ?" pinta Laras.
"Saya janji" jawab ku sambil menawarkan jari kelingking ku.
Laras tersenyum. Kemudian Ia melingkarkan jari kelingking kanan nya ke jari kelingking kanan ku.
* * * * * *
Laras memulai ceritanya saat Ia masih duduk di kelas 3 sebuah SMA Negeri di kota Kediri. Saat itu usianya baru sekitar 18 tahun. Laras dan keluarganya sendiri tinggal di sebuah desa kecil, 23 km dari kota Kediri. Jarak yang cukup jauh antara rumah dan sekolah membuat Ia harus bangun pagi-pagi buta setiap hari agar tidak telat sampai di sekolah. Hal ini sudah dilakoninya selama dua tahun. Walau Ia anak yang keras kepala dan sedikit tomboi, namun sejatinya Ia adalah anak yang penuh tanggung jawab. Untuk masalah pelajaran tidak pernah ada angka 7 di raport nya, selalu angka 8 ke atas. Teristimewa ketika kenaikan kelas kemarin, Laras berhasil menjadi juara I dengan nilai rata-rata 9.
Tentu saja hal ini membuat ayah dan ibu nya bahagia dan bangga. Laras yang memang sudah dimanja, semakin dimanja karena prestasi ini. Satu minggu setelah pembagian raport, ayahnya membelikan sebuah sepeda motor.
Laras memeluk ayah dan ibunya, dan menciumi pipi keduanya, demi ketika melihat sebuah sepeda motor baru berwarna hitam telah terparkir di halaman rumah.
"Makasih, pak, makasih ma". Aku sayang sama bapak, sama mama" teriak Laras kepada ayah-bundanya. sambil jingkrak-jingkrak kegirangan.
"Iya, itu hadiah buat anak bapak yang puinter" kata sang ayah. "Besok Senin kamu ke polsek sama Rangga".
"Lho, ono opo toh ?" tanya Laras.
( Lho ada apa ?)
"Yo bikin SIM. Kamu iki piye, mosok mau nganggo motor ora duwe SIM. Memangnya kamu mau ditangkap polisi, terus ditilang, ngono ?"
(Ya bikin sim, kamu ini gimana, masa mau pakai motor tidak punya sim. Memangnya kamu mau ditangkap polisi terus ditilang, begitu ? )
Laras nyengir kuda. "Alahh, 'ben pak. Paling-paling polisi ne nanti juga bosen nilangi aku. Kalo ndak, aku suruh mas Rangga wae sing ngurusi" kata Laras sambil meledek kakaknya yang sedang main gitar di beranda samping rumah.
( Alahh, biarin pak. Paling-paling polisi nya nanti juga bosan menilang saya. Kalau tidak, saya suruh mas Rangga saja yang mengurus ke kantor polisi )
"Huss...kowe ojo ngono toh nduk. Ojo nggampangi. Ne', wis ke'ne baru rasa-no" ( Huss... jangan begitu. jangan suka menggampangkan. Kalau sudah kena, baru tahu rasa. ) kata ibu Laras menimpali.
"Mas Rangga....." teriak Laras memanggil kakaknya.
Rangga tak peduli dengan panggilan adiknya. Ia masih asyik dengan gitarnya.
"Mas Rangga...........!" teriak Laras lagi.
Rangga masih cuek. Bahkan semakin asyik dengan gitarnya. Bahkan Ia tak sadar ketika seekor kecoak mendekatinya.
"Iihhh...... Mas Rangga...!!" Laras kembali berteriak sambil melemparkan bantal kursi yang sedari tadi dipeluknya ke arah Rangga.
Rangga menghentikan permainan gitarnya, lalu menoleh ke arah Laras.
"Besok Senin suruh bapak temeni aku bikin sim nang Polsek" ujar Laras.
Rangga beranjak dari tempat duduknya, lalu berjalan menghampiri Laras.
"Urus no dewe karo kowe toh, dek. Belajar" (urus sendiri sama kamu dong, dik. Belajar) kata Rangga sambil membelai rambut adiknya.
Laras memandangi wajah kakak laki-laki satu-satunya itu dengan tatapan 'penuh permohonan'.
"Emoh, poko 'e temeni aku" (nggak mau, pokoknya temani aku) ujar laras sambil menarik-narik lengan kakaknya.
Melihat tingkah polah Laras, Rangga tersenyum. "Yo wis. Tapi siang yo, habis mas pulang kuliah" ujar Rangga.
Mendapat jawaban yang sesuai, Laras tertawa senang. "Oke" ucap Laras mengangkat dua jempolnya. "Mas Rangga mau aku bikinin apa ?" tanya Laras, masih sambil cengar-cengir tidak karu-karuan.
"Wuihhh. Mau ngerayu nih yee ?". Yo wis mas mau sego goreng (nasi goreng), pake telor bebek, sate usus, kerupuk udang, dan jangan lupa. Es kopi susu"
"Siap komandan. Telor ne diapa ke ? (Telurnya mau dibikin apa)" ujar Laras sambil memberi hormat seperti tentara.
Rangga berfikir sejenak. "Diceplok!" ujar Rangga sambil menarik hidung adik perempuan satu-satunya, yang sangat disayanginya itu.
Tak berapa lama sudah tersedia 2 porsi nasi goreng di atas meja makan, lengkap dengan lauk pauknya, segelas teh manis dan es kopi susu pesanan Rangga. Kemudian kakak-beradik itu segera menikmati sajian istimewa itu sambil bersenda gurau, tertawa, dan bahagia. Laras memang pandai memasak. Khususnya mengolah telur. Seluruh keluarga sangat menyukai masakan Laras yang satu ini.
* * * * * *
Hari masih pagi. Udara di kaki gunung Kelud masih basah oleh embun. Hari ini hari yang bersejarah buat Laras. Karena hari ini untuk pertama kalinya Ia berangkat sekolah menggunakan motor baru kesayangannya.
Penampilannya pun terlihat berbeda. Ia lebih kelihatan rapih dan modis. Jaket jeans berwarna coklat hadiah dari Rangga terlihat begitu apik saat dipadukan dengan tas punggung merah hati kesayangannya. Namun ada satu yang membuat pemandangan terlihat kontras. Gantungan kunci berbentuk tengkorak yang selalu setia tergantung di resleting tas-nya.
"Hati-hati nduk. Jo ngebut-ngebut loh kamu" pesan ibu Laras.
Laras mencium tangan ibunya, kemudian mengambil kunci motor yang tergeletak di atas meja, dan langsung tancap gas.
40 menit Laras tiba di sekolah. Jauh lebih awal dari biasanya yang memakan waktu hingga satu setengah jam. Teman-temannya yang sudah datang bersorak melihat kedatangan Laras. Mereka segera menghampiri Laras yang masih sibuk parkir di halaman samping sekolah.
"Wuiiihh.......anyar 'ngil' ?" tanya Wati.
Laras tersenyum. "Iya, gimana ? keren ndak ?" kata Laras sambil menepuk-nepuk jok motor.
Belum sempat Wati menjawab, datang Hanum memencet hidung Laras sambil meledek
"Ealaahh.....si mungil wis due motor anyar toh . (ealah..si mungil sudah punya motor baru toh), kalo gini cara ne harus di resmikan dulu, di-upacara-i dulu. Supaya sehat selamat sampai tujuan" kata Hanum dengan wajah serius.
"Alahh...bilang aja kalian berdua minta jatah traktir" ujar Laras membalas ledekan kedua sahabat karibnya itu.
Lalu ketiganya segera meluncur ke kantin belakang sekolah. Mi ayam Lek Jono yang menjadi incaran ketiganya kali ini. Kedua sahabat Laras itu memang memberikan julukan 'Si Mungil" kepada Laras, karena bentuk hidung Laras yang 'mungil' dan indah. Hanum sendiri memiliki julukan 'Si Bawel', dan julukan untuk Wati adalah' Cah Ayu', karena pembawaannya yang cenderung pendiam dan pemalu. Namun walau dari latar belakang sifat yang jauh berbeda dan kadang berseberangan, hati mereka telah menyatu. Segala perbedaan itu telah mereka buang jauh-jauh, diganti dengan rasa saling menyayangi satu sama lain.
Bel tanda masuk telah berbunyi. Ketiganya bergegas menuju kelas. Seperti biasa, Laras selalu duduk satu meja dengan Hanum. Hal itu sudah menjadi semacam hukum wajib bagi mereka berdua sejak di kelas 3 SMP.
Laras dan Hanum, seperti sayur dan garam, matahari dan bulan, raga dan jiwa, yang selalu saling berbagi dan saling melengkapi. Dimana ada Laras disitu ada Hanum, begitu pun sebaliknya.
Bila salah satu dari mereka tak ada. Dunia seperti kehilangan makna bagi mereka. Betapa sebuah persahabatan yang indah.
Laras terkejut ketika merogoh laci mejanya. Ia merasa menyentuh sesuatu. Coba dikenalinya benda yang berbau harum itu. Saat ditariknya keluar benda itu, Laras semakin terkejut. Sebuah Surat, beramplop hijau muda dan harum. Hanum pun terkejut melihat surat itu ada di laci meja mereka. Laras membalikkan amplop surat itu dan menemukan tulisan kecil yang menggambarkan identitas pengirimnya. "Dari Danang - Buat Laras", begitu bunyi tulisan itu.
Laras dan Hanum saling berpandangan. Lalu keduanya menoleh kebelakang. Dilihatnya oleh mereka Danang sedang tersenyum, sembari memberikan isyarat agar Laras membuka surat yang saat ini sedang ada di genggamannya.
Laras pun segera membuka surat itu sembunyi-sembunyi, karena takut teman-temannya yang lain tahu. "Selamat ya atas motor barunya. Aku juga punya hadiah buat kamu. nanti malam aku telepon kamu ya. Terima kasih sudah baca suratku" tertanda, Danang.
Laras dan Hanum kembali berpandangan. Namun tak lama kemudian mereka berdua tertawa.
"Laras, wis toh kamu iya-in aja. Aku penasaran, hadiah opo toh yang mau dikasih ke kamu" ujar Hanum berbisik. Laras mengangguk. Kemudian menoleh ke arah Danang dan memberikan isyarat tanda setuju.
Jam dinding berdentang delapan kali. Menandakan sudah pukul delapan malam. Hp Laras bergetar. Tertulis di layar nama si penelepon. Danang.
"Halo Danang".
"Assalamualaykum" sapa Danang.
"Wa alaykum salam" jawab Laras.
"Lagi opo Ras ?" tanya Danang.
"Habis sholat isya" jawab Laras.
"Owh. wis ma-em ?" tanya Danang lagi mencoba romantis.
"Wis. Wis toh, kamu mau ngomong opo ? Cepet aku wis ngantuk !". Laras memang paling malas berbicara lewat telepon, tidak betah, karena telepon membuat telinganya panas.
Dan sebenarnya dia juga masih segar bugar. Masih jauh dari yang namanya ngantuk. Itu hanya alasan untuk menutupi rasa penasaran yang ada di pikirannya karena ingin secepatnya tahu hadiah apa yang dijanjikan Danang kepadanya.
"Lho...lho....se' toh. Aku masih pingin ngobrol karo kamu" kata Danang..
"Ah, nanti aja lah ngobrolnya. Cepet kamu mau ngomong opo. Jangan salahkan aku lho kalo ta' mati-in hp nya" ancam Laras. Rasa penasaran benar-benar sudah sampai di ubun-ubun kepalanya.
"Oke-oke. Yo wis aku ngomong. Laras ayu, aku mau ajak kamu jalan-jalan ke Pantai Gesing. Gimana kamu mau ndak ?" tanya Danang.
Mendengar nama Pantai Gesing, Laras langsung berjingkrak-jingkrak kegirangan. Pantai Gesing adalah pantai impian yang selama ini sangat ingin dikunjunginya. Namun karena jaraknya yang jauh, sampai hari ini Ia belum bisa pergi ke sana. Saking kepingin-nya pergi ke sana, dia telah berjanji dalam hati, kalau ada cowok yang bisa mengajak dia ke Pantai Gesing akan dijadikannya pacar, kalau cewek akan dijadikannya saudara. Rupanya cowok yang 'beruntung' itu bernama Danang, teman se-kelasnya.
Pantai Gesing adalah sebuah pantai yang terletak di kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, kira-kira tujuh sampai delapan jam perjalanan dari kota Kediri. Pantainya landai berpasir putih, sangat indah dan asri. Deburan ombaknya tenang seolah-olah seperti dalam buaian seorang ibu. Air lautnya biru dan jernih. Dua bukit kecil yang mengapitnya membuat Pantai Gesing semakin eksotis. Sampai-sampai terbit ungkapan : Pantai Gesing adalah 'Surga' yang disembunyikan Tuhan di bumi. Gunung Kidul memang dianugerahi Tuhan dengan banyak tempat-tempat yang indah nan menawan.
Laras pun, tanpa pikir panjang, segera meng-iya kan ajakan Danang. Namun Laras memberikan syarat. Hanum dan Wati harus ikut. Danang pun tak keberatan.
Selesai percakapan Laras membanting tubuhnya ke atas kasur. Pikirannya langsung menerawang jauh membayangkan ke-elokan Pantai Gesing, dan hal-hal menarik yang akan dilakukannya bersama Danang dan teman-temannya, di tempat yang sangat ingin dikunjunginya itu. Laras cemburu pada waktu. Tak sabar rasanya ingin cepat ada di sana.
"Pantai Gesing.........., tunggu aku datang"
Penampilannya pun terlihat berbeda. Ia lebih kelihatan rapih dan modis. Jaket jeans berwarna coklat hadiah dari Rangga terlihat begitu apik saat dipadukan dengan tas punggung merah hati kesayangannya. Namun ada satu yang membuat pemandangan terlihat kontras. Gantungan kunci berbentuk tengkorak yang selalu setia tergantung di resleting tas-nya.
"Hati-hati nduk. Jo ngebut-ngebut loh kamu" pesan ibu Laras.
Laras mencium tangan ibunya, kemudian mengambil kunci motor yang tergeletak di atas meja, dan langsung tancap gas.
40 menit Laras tiba di sekolah. Jauh lebih awal dari biasanya yang memakan waktu hingga satu setengah jam. Teman-temannya yang sudah datang bersorak melihat kedatangan Laras. Mereka segera menghampiri Laras yang masih sibuk parkir di halaman samping sekolah.
"Wuiiihh.......anyar 'ngil' ?" tanya Wati.
Laras tersenyum. "Iya, gimana ? keren ndak ?" kata Laras sambil menepuk-nepuk jok motor.
Belum sempat Wati menjawab, datang Hanum memencet hidung Laras sambil meledek
"Ealaahh.....si mungil wis due motor anyar toh . (ealah..si mungil sudah punya motor baru toh), kalo gini cara ne harus di resmikan dulu, di-upacara-i dulu. Supaya sehat selamat sampai tujuan" kata Hanum dengan wajah serius.
"Alahh...bilang aja kalian berdua minta jatah traktir" ujar Laras membalas ledekan kedua sahabat karibnya itu.
Lalu ketiganya segera meluncur ke kantin belakang sekolah. Mi ayam Lek Jono yang menjadi incaran ketiganya kali ini. Kedua sahabat Laras itu memang memberikan julukan 'Si Mungil" kepada Laras, karena bentuk hidung Laras yang 'mungil' dan indah. Hanum sendiri memiliki julukan 'Si Bawel', dan julukan untuk Wati adalah' Cah Ayu', karena pembawaannya yang cenderung pendiam dan pemalu. Namun walau dari latar belakang sifat yang jauh berbeda dan kadang berseberangan, hati mereka telah menyatu. Segala perbedaan itu telah mereka buang jauh-jauh, diganti dengan rasa saling menyayangi satu sama lain.
Bel tanda masuk telah berbunyi. Ketiganya bergegas menuju kelas. Seperti biasa, Laras selalu duduk satu meja dengan Hanum. Hal itu sudah menjadi semacam hukum wajib bagi mereka berdua sejak di kelas 3 SMP.
Laras dan Hanum, seperti sayur dan garam, matahari dan bulan, raga dan jiwa, yang selalu saling berbagi dan saling melengkapi. Dimana ada Laras disitu ada Hanum, begitu pun sebaliknya.
Bila salah satu dari mereka tak ada. Dunia seperti kehilangan makna bagi mereka. Betapa sebuah persahabatan yang indah.
Laras terkejut ketika merogoh laci mejanya. Ia merasa menyentuh sesuatu. Coba dikenalinya benda yang berbau harum itu. Saat ditariknya keluar benda itu, Laras semakin terkejut. Sebuah Surat, beramplop hijau muda dan harum. Hanum pun terkejut melihat surat itu ada di laci meja mereka. Laras membalikkan amplop surat itu dan menemukan tulisan kecil yang menggambarkan identitas pengirimnya. "Dari Danang - Buat Laras", begitu bunyi tulisan itu.
Laras dan Hanum saling berpandangan. Lalu keduanya menoleh kebelakang. Dilihatnya oleh mereka Danang sedang tersenyum, sembari memberikan isyarat agar Laras membuka surat yang saat ini sedang ada di genggamannya.
Laras pun segera membuka surat itu sembunyi-sembunyi, karena takut teman-temannya yang lain tahu. "Selamat ya atas motor barunya. Aku juga punya hadiah buat kamu. nanti malam aku telepon kamu ya. Terima kasih sudah baca suratku" tertanda, Danang.
Laras dan Hanum kembali berpandangan. Namun tak lama kemudian mereka berdua tertawa.
"Laras, wis toh kamu iya-in aja. Aku penasaran, hadiah opo toh yang mau dikasih ke kamu" ujar Hanum berbisik. Laras mengangguk. Kemudian menoleh ke arah Danang dan memberikan isyarat tanda setuju.
Jam dinding berdentang delapan kali. Menandakan sudah pukul delapan malam. Hp Laras bergetar. Tertulis di layar nama si penelepon. Danang.
"Halo Danang".
"Assalamualaykum" sapa Danang.
"Wa alaykum salam" jawab Laras.
"Lagi opo Ras ?" tanya Danang.
"Habis sholat isya" jawab Laras.
"Owh. wis ma-em ?" tanya Danang lagi mencoba romantis.
"Wis. Wis toh, kamu mau ngomong opo ? Cepet aku wis ngantuk !". Laras memang paling malas berbicara lewat telepon, tidak betah, karena telepon membuat telinganya panas.
Dan sebenarnya dia juga masih segar bugar. Masih jauh dari yang namanya ngantuk. Itu hanya alasan untuk menutupi rasa penasaran yang ada di pikirannya karena ingin secepatnya tahu hadiah apa yang dijanjikan Danang kepadanya.
"Lho...lho....se' toh. Aku masih pingin ngobrol karo kamu" kata Danang..
"Ah, nanti aja lah ngobrolnya. Cepet kamu mau ngomong opo. Jangan salahkan aku lho kalo ta' mati-in hp nya" ancam Laras. Rasa penasaran benar-benar sudah sampai di ubun-ubun kepalanya.
"Oke-oke. Yo wis aku ngomong. Laras ayu, aku mau ajak kamu jalan-jalan ke Pantai Gesing. Gimana kamu mau ndak ?" tanya Danang.
Mendengar nama Pantai Gesing, Laras langsung berjingkrak-jingkrak kegirangan. Pantai Gesing adalah pantai impian yang selama ini sangat ingin dikunjunginya. Namun karena jaraknya yang jauh, sampai hari ini Ia belum bisa pergi ke sana. Saking kepingin-nya pergi ke sana, dia telah berjanji dalam hati, kalau ada cowok yang bisa mengajak dia ke Pantai Gesing akan dijadikannya pacar, kalau cewek akan dijadikannya saudara. Rupanya cowok yang 'beruntung' itu bernama Danang, teman se-kelasnya.
Pantai Gesing adalah sebuah pantai yang terletak di kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, kira-kira tujuh sampai delapan jam perjalanan dari kota Kediri. Pantainya landai berpasir putih, sangat indah dan asri. Deburan ombaknya tenang seolah-olah seperti dalam buaian seorang ibu. Air lautnya biru dan jernih. Dua bukit kecil yang mengapitnya membuat Pantai Gesing semakin eksotis. Sampai-sampai terbit ungkapan : Pantai Gesing adalah 'Surga' yang disembunyikan Tuhan di bumi. Gunung Kidul memang dianugerahi Tuhan dengan banyak tempat-tempat yang indah nan menawan.
Laras pun, tanpa pikir panjang, segera meng-iya kan ajakan Danang. Namun Laras memberikan syarat. Hanum dan Wati harus ikut. Danang pun tak keberatan.
Selesai percakapan Laras membanting tubuhnya ke atas kasur. Pikirannya langsung menerawang jauh membayangkan ke-elokan Pantai Gesing, dan hal-hal menarik yang akan dilakukannya bersama Danang dan teman-temannya, di tempat yang sangat ingin dikunjunginya itu. Laras cemburu pada waktu. Tak sabar rasanya ingin cepat ada di sana.
"Pantai Gesing.........., tunggu aku datang"
( Bersambung )
Ikuti kisah perjalanan Laras, Danang, dan dua sahabatnya ke Pantai Gesing, dan peristiwa yang akan terjadi di sana, dalam cerita bersambung : Selendang Putih Dari Surga, Bagian ke 4, yang berjudul :
"Ice Cream Keberuntungan".
Sampai jumpa Minggu depan.
"Ice Cream Keberuntungan".
Sampai jumpa Minggu depan.
Komentar
Posting Komentar